Kiranya menarik untuk menengok
kembali sejarah bangsa kita dalam pengalaman pembangunan ekonominya. Marilah
kita lihat pengalaman pembangunan ekonomi kita sejak Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia tahun 1945. Pada awal tahun 1950 an setelah Kemerdekaan Negara
Indonesia diakui oleh bangsa-bangsa di seluruh dunia, terutama Belanda sebagai
bekas penguasanya selama 3,5 abad, maka timbullah keinginan untuk membangun
agar bangsa indonesia bisa maju, tidak terbelakang, dan dihormati oleh
bangsa-bangsa lain yang sudah lebih maju atau yang merdeka lebih dahulu.
Tetapi, antara keinginan untuk segera maju atau realita tantangan yang dihadapi
pada awal kemerdekaan, terdapat kesenjangan besar. Antara para pemimpin politik
dengan para cendikiawan terdapat pula perbedaan pandangan. Bahkan antara dua
pemimpin politik, Soekarno dan Hatta, pun terdapat perbedaan persepsi yang
cukup tajam tentang prioritas yang seharusnya memperoleh penekanan pada tahap
pembangunan pada waktu itu.
Sejarah bangsa Indonesia
sebagai bangsa berbudaya memang lebih tua dari kebanyakan bangsa Barat atau
Timur yang kini termasuk bangsa modern. Namun, pengalamannya sebagai bangsa “
modern “ masih relatif singkat. Adapun ukuran modern memang tidak terlalu mudah
diberikan kriterianya. Orang bisa bertanya apakah kita sebagai bangsa yang
ingin “ modern ” atau ingin “ maju “. Apakah kita harus melaksanakan berbagai
program modernisasi untuk menjadi bangsa yang maju, atau kita harus membangun
dan memajukan macam-macam bidang kehidupan agar kita bisa mencapai tingkat
kemajuan yang disebut modern.
Nampaknya, bagaimanapun setiap
bangsa mempunyai ukuran-ukurannya sendiri yang menjadi pedoman pelaksanaan
langkah-langkah pembangunannya, meskipun ukuran-ukuran itu kadang-kadang masih
berubah karena terus-menerus memerlukan penyempurnaan. Kita misalnya telah
sepakat bahwa pembangunan nasional bangsa Indonesia adalah pembangunan manusia
seutuhnya dan pembangunan seluruh rakyat Indonesia. Pembangunan manusia yang
utuh dan pembangunan seluruh rakyat biasanya diartikan bahwa bidang-bidang
kebutuhan manusia yang hendak dibangun itu harus seimbang materil dan spritual.
Dan pembangunan seluruh rakyat diartikan pembangunan yang merata atau
pembangunan yang adil.
Sementara itu, tujuan
pembangunan nasional kita, dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara ( GBHN )
dirumuskan sebagai upaya mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur di mana
kita bukannya tanpa alasan meletakkan keadilan lebih dahulu daripada
kemakmuran. Dan, masyarakat yang ingin kita wujudkan itu lebih lengkap kita
tulis sebagai masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan pancasila, di mana
setiap sila-sila Pancasila harus mewarnai atau menjiwai hasil-hasilnya.
Di sinilah muncul konsep
trilogy pembangunan yang merupakan tiga serangkai cara yang menjadi pedoman
kebijaksanaan pembangunan kita. Dalam trilogy pembangunan kita sering
mengatakan bahwa ketiganya sama pentingnya dan berkaitan satu sama lain. Hanya
urutannya bisa kita ubah sesuai perkembangan keadaan dan dinamika kebutuhan
masyarakat pada waktu tertentu. Misalnya, pada waktu kita memulai pelita I (
1969-1974), trilogy pembangunan kita pahami sebagai pengutamaan
stabilitas lebih dulu, yang mutlak perlu untuk mencapai pertumbuhan ekonomi
yang tinggi. Baru sesudah keduanya terwujud kita bisa memikirkan pemerataan
pembangunan dan hasil-hasilnya. Bangsa indonesia amat memandang penting prinsip
pemerataan yang harus dipikirkan sejak awal pembangunan, yang terbukti dalam
pengalaman pelaksanaan Pelita I tersebut. Dengan pertumbuhan ekonomi selama
Pelita I yang mencapai 8%, tetapi diikuti oleh ketimpangan ekonomi yang serius,
maka rakyat segera menuntut lebih diperhantikannya program-program pemerataan.
Itulah “ keterangan “ mengapa terjadi peristiwa Lima Belas Januari ( Malari )
bulan Januari 1974, 3 bulan sebelum berakhirnya Pelita I. Peristiwa “ Malari ”
ini telah mendorong penonjolan program-program pemerataan seperti pengenalan
program Kredit Investasi Kecil ( KIK ) dan Kredit Modal Kerja Permanen ( KMKP
), yang akhirnya secara konkrit dirumuskan dalam program delapan jalur
pemerataan pada Pelita II.
Marilah
kita melihat pengalaman sejarah bangsa Indonesia dalam pembangunan ekonominya.
Dengan mengaitkannya pada perkembangan politik bangsa, kita usulkan periodisasi
ekonomi Indonesia ke dalam siklus tahunan sebagai berikut :
1.
1945-1952 =Ekonomi Perang dan Gerilya ; Pembumihangusan
Prasarana Ekonomi, Ekonomi Dualistik.
2.
1952-1959 =Pembangunan Ekonomi National ; Kelahiran
Berbagai Perusahaan Negara Hasil Ambil-Alih.
3.
1959-1966 =Ekonomi Terpimpin ; Perekonomian Memburuk
Karena Politik Menjadi “ Panglima ”.
4.
1966-1973 =Perubahan Drastis Dalam Kebijaksanaan
Ekonomi ; Ekonomi Menjadi “ Panglima ”, Ekonomi Terpimpin Menjadi Demokrasi
Ekonomi.
5.
1973-1980 =Ekonomi Bonansa Minyak ; Pertumbuhan dan
Pemerataan.
6.
1980-1987 =Ekoomi Pasca Bonansa Minyak ; Ekonomi
Keprihatinan Menuju Ekonomi Yang Berkeadilan Sosial.
Harus disadari bahwa
pembangunan ekonomi Indonesia sudah berjalan, Meskipun dunia bisnis swasta
dewasa ini sudah berperanan amat besar dan ada di antaranya yang sudah mencapai
tingkat “ Raksasa ” namun harus diakui Bahwa Badan Usaha Milik Negara ( BUMN )
masih memegang peranan yang sering amat menentukan, antara lain karena
pemerintah ada di belakangnya. Sering terjadi standar penggajian staf dan
karyawan BUMN sejajar atau bahkan bisa lebih tinggi dibanding perusahaan
swasta. Di sinilah kita menghadapi dilema. Di satu pihak pemerintah ingi atau
seyogyanya memberikan kebebasan atau otonomi kepada BUMN untuk mngatur
manajemen usahanya agar bisa lebih efesien. Tetapi di pihak lain, “ Kebebasan ”
itu akan otomatis mewarnai cara dan pola hidup para pejabat pemerintah yang
kebetulan langsung atau tidak langsung terlibat dalam kegiatan BUMN.
Pejabat-pejabat yang demikian, baik yang langsung duduk dalam
kepungurusan maupun yang hanya dalam posisi memberi aneka rupa perizinan (
misalnya berupa tanda tangan ), kadang-kadang merasa berhak menikmati hidup
mewah, karena “ uangnya bukan uang pemerintah ”.
Tidak disangkal bahwa sikap dan
gaya hidup boros dan mewah adalah fungsi dari jumlah dana dan kekayaan yng
berhasil dikuasai seseorang. Ini berarti bahwa makin besar jumlah perusahaan (
Swasta maupun BUMN ) makin besar pula kemungkinan terjadi inefesiensi. Tetapi
kiranya perlu disadari bahwa dalam keadaan keprihatinan pembangunan ekonomi
Indonesia, langkah-langkah peningkatan efesiensi bukanlah kepentingan orang
seorang, lembaga ataupun sektor-sektor tertentu saja, melainkan merupakan
kepentingan seluruh bangsa. Maka langkah-langkah patriotik pelaksanaan
pembangunan ekonomi nasional tidaklah bisa terwujud hanya sekedar melalui
himbauan, tetapi harus berupa suatu kesadaran nasional.
Daftar Pustaka
Mubyanto (1988). Sistem dan Moral Ekonomi Indonesia, LP3ES Jakarta ;
Darminto M. Sudarmo (2003), Guyon Demokrasi, Kombat Publisher,
Jakarta
Syafie, inu kaneana. Sistem
Pemerintahan Indonesia. Referika Aditama;Bandung.
Marijan kacung. (2010). Sistem Politik Indonesia. Kaneana
Prenada Media Grup;Jakarta.
" Selamat Membaca (*_*) "
Tidak ada komentar:
Posting Komentar