Terima Kasih Atas Kunjungannya

Selasa, 27 Desember 2011

Pembangunan Ekonomi Indonesia Dalam Perspektif Sejarah Dan Budaya

Kiranya menarik untuk menengok kembali sejarah bangsa kita dalam pengalaman pembangunan ekonominya. Marilah kita lihat pengalaman pembangunan ekonomi kita sejak Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tahun 1945. Pada awal tahun 1950 an setelah Kemerdekaan Negara Indonesia diakui oleh bangsa-bangsa di seluruh dunia, terutama Belanda sebagai bekas penguasanya selama 3,5 abad, maka timbullah keinginan untuk membangun agar bangsa indonesia bisa maju, tidak terbelakang, dan dihormati oleh bangsa-bangsa lain yang sudah lebih maju atau yang merdeka lebih dahulu. Tetapi, antara keinginan untuk segera maju atau realita tantangan yang dihadapi pada awal kemerdekaan, terdapat kesenjangan besar. Antara para pemimpin politik dengan para cendikiawan terdapat pula perbedaan pandangan. Bahkan antara dua pemimpin politik, Soekarno dan Hatta, pun terdapat perbedaan persepsi yang cukup tajam tentang prioritas yang seharusnya memperoleh penekanan pada tahap pembangunan pada waktu itu.
Sejarah bangsa Indonesia sebagai bangsa berbudaya memang lebih tua dari kebanyakan bangsa Barat atau Timur yang kini termasuk bangsa modern. Namun, pengalamannya sebagai bangsa “ modern “ masih relatif singkat. Adapun ukuran modern memang tidak terlalu mudah diberikan kriterianya. Orang bisa bertanya apakah kita sebagai bangsa yang ingin “ modern ” atau ingin “ maju “. Apakah kita harus melaksanakan berbagai program modernisasi untuk menjadi bangsa yang maju, atau kita harus membangun dan memajukan macam-macam bidang kehidupan agar kita bisa mencapai tingkat kemajuan yang disebut modern.
Nampaknya, bagaimanapun setiap bangsa mempunyai ukuran-ukurannya sendiri yang menjadi pedoman pelaksanaan langkah-langkah pembangunannya, meskipun ukuran-ukuran itu kadang-kadang masih berubah karena terus-menerus memerlukan penyempurnaan. Kita misalnya telah sepakat bahwa pembangunan nasional bangsa Indonesia adalah pembangunan manusia seutuhnya dan pembangunan seluruh rakyat Indonesia. Pembangunan manusia yang utuh dan pembangunan seluruh rakyat biasanya diartikan bahwa bidang-bidang kebutuhan manusia yang hendak dibangun itu harus seimbang materil dan spritual. Dan pembangunan seluruh rakyat diartikan pembangunan yang merata atau pembangunan yang adil.
Sementara itu, tujuan pembangunan nasional kita, dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara ( GBHN ) dirumuskan sebagai upaya mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur di mana kita bukannya tanpa alasan meletakkan keadilan lebih dahulu daripada kemakmuran. Dan, masyarakat yang ingin kita wujudkan itu lebih lengkap kita tulis sebagai masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan pancasila, di mana setiap sila-sila Pancasila harus mewarnai atau menjiwai hasil-hasilnya.
Di sinilah muncul konsep trilogy pembangunan yang merupakan tiga serangkai cara yang menjadi pedoman kebijaksanaan pembangunan kita. Dalam trilogy pembangunan kita sering mengatakan bahwa ketiganya sama pentingnya dan berkaitan satu sama lain. Hanya urutannya bisa kita ubah sesuai perkembangan keadaan dan dinamika kebutuhan masyarakat pada waktu tertentu. Misalnya, pada waktu kita memulai pelita I ( 1969-1974), trilogy pembangunan kita pahami sebagai  pengutamaan stabilitas lebih dulu, yang mutlak perlu untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Baru sesudah keduanya terwujud kita bisa memikirkan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya. Bangsa indonesia amat memandang penting prinsip pemerataan yang harus dipikirkan sejak awal pembangunan, yang terbukti dalam pengalaman pelaksanaan Pelita I tersebut. Dengan pertumbuhan ekonomi selama Pelita I yang mencapai 8%, tetapi diikuti oleh ketimpangan ekonomi yang serius, maka rakyat segera menuntut lebih diperhantikannya program-program pemerataan. Itulah “ keterangan “ mengapa terjadi peristiwa Lima Belas Januari ( Malari ) bulan Januari 1974, 3 bulan sebelum berakhirnya Pelita I. Peristiwa “ Malari ” ini telah mendorong penonjolan program-program pemerataan seperti pengenalan program Kredit Investasi Kecil ( KIK ) dan Kredit Modal Kerja Permanen ( KMKP ), yang akhirnya secara konkrit dirumuskan dalam program delapan jalur pemerataan pada Pelita II.
Marilah kita melihat pengalaman sejarah bangsa Indonesia dalam pembangunan ekonominya. Dengan mengaitkannya pada perkembangan politik bangsa, kita usulkan periodisasi ekonomi Indonesia ke dalam siklus tahunan sebagai berikut :
1.    1945-1952     =Ekonomi Perang dan Gerilya ; Pembumihangusan Prasarana Ekonomi, Ekonomi Dualistik.

2.    1952-1959     =Pembangunan Ekonomi National ; Kelahiran Berbagai Perusahaan Negara Hasil Ambil-Alih.


3.    1959-1966     =Ekonomi Terpimpin ; Perekonomian Memburuk Karena Politik Menjadi “ Panglima ”.

4.    1966-1973     =Perubahan Drastis Dalam Kebijaksanaan Ekonomi ; Ekonomi Menjadi “ Panglima ”, Ekonomi Terpimpin Menjadi Demokrasi Ekonomi.

5.    1973-1980     =Ekonomi Bonansa Minyak ; Pertumbuhan dan Pemerataan.

6.    1980-1987     =Ekoomi Pasca Bonansa Minyak ; Ekonomi Keprihatinan Menuju Ekonomi Yang Berkeadilan Sosial.
Harus disadari bahwa pembangunan ekonomi Indonesia sudah berjalan, Meskipun dunia bisnis swasta dewasa ini sudah berperanan amat besar dan ada di antaranya yang sudah mencapai tingkat “ Raksasa ” namun harus diakui Bahwa Badan Usaha Milik Negara ( BUMN ) masih memegang peranan yang sering amat menentukan, antara lain karena pemerintah ada di belakangnya. Sering terjadi standar penggajian staf dan karyawan BUMN sejajar atau bahkan bisa lebih tinggi dibanding perusahaan swasta. Di sinilah kita menghadapi dilema. Di satu pihak pemerintah ingi atau seyogyanya memberikan kebebasan atau otonomi kepada BUMN untuk mngatur manajemen usahanya agar bisa lebih efesien. Tetapi di pihak lain, “ Kebebasan ” itu akan otomatis mewarnai cara dan pola hidup para pejabat pemerintah yang kebetulan langsung atau tidak langsung terlibat dalam kegiatan BUMN. Pejabat-pejabat  yang demikian, baik yang langsung duduk dalam kepungurusan maupun yang hanya dalam posisi memberi aneka rupa perizinan ( misalnya berupa tanda tangan ), kadang-kadang merasa berhak menikmati hidup mewah, karena “ uangnya bukan uang pemerintah ”.
Tidak disangkal bahwa sikap dan gaya hidup boros dan mewah adalah fungsi dari jumlah dana dan kekayaan yng berhasil dikuasai seseorang. Ini berarti bahwa makin besar jumlah perusahaan ( Swasta maupun BUMN ) makin besar pula kemungkinan terjadi inefesiensi. Tetapi kiranya perlu disadari bahwa dalam keadaan  keprihatinan pembangunan ekonomi Indonesia, langkah-langkah peningkatan efesiensi bukanlah kepentingan orang seorang, lembaga ataupun sektor-sektor tertentu saja, melainkan merupakan kepentingan seluruh bangsa. Maka langkah-langkah patriotik pelaksanaan pembangunan ekonomi nasional tidaklah bisa terwujud hanya sekedar melalui himbauan, tetapi harus berupa suatu kesadaran nasional.
Daftar Pustaka

Mubyanto (1988). Sistem dan Moral Ekonomi Indonesia, LP3ES Jakarta ;
Darminto M. Sudarmo (2003), Guyon Demokrasi, Kombat Publisher, Jakarta
Syafie, inu kaneana. Sistem Pemerintahan Indonesia. Referika Aditama;Bandung.
Marijan kacung. (2010). Sistem Politik Indonesia. Kaneana Prenada Media Grup;Jakarta.

" Selamat Membaca (*_*) "

Tidak ada komentar: