KATA PENGANTAR
Bismillahi Rahmanirrahim,
Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas berkat
dan rahmat – Nya sehingga makalah ini bisa selesai. Tidak lupa kita kirimkan
shalawat dan taslim kepada junjungan kita nabiullah Muhammad SAW beserta
sahabat-sahabatnya. Membahas masalah nikah memang penting untuk diketahui
khususnya umat islam, karena sebagian dari kita pasti menginginkan yang namanya
pernikahan dan keluarga yang sakinah mawaddah warahmah. Perkawinan merupakan suatu
ikatan yang sangat dalam dan kuat sebagai penghubung antara seorang pria dengan
seorang wanita dalam membentuk suatu keluarga atau rumah tangga. Dalam
membentuk suatu keluarga tentunya memerlukan suatu komitmen yang kuat diantara
pasangan tersebut. Sehingga dalam hal ini Undang-Undang Perkawinan No.1 tahun
1974 pada pasal 2 ayat 1 menyatakan bahwa suatu perkawinan dapat dinyatakan
sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan
pasangan yang melakukan pernikahan.
Penulis,
Adhyel
BAB I.
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Perkawinan
merupakan suatu ikatan yang sangat dalam dan kuat sebagai penghubung antara
seorang pria dengan seorang wanita dalam membentuk suatu keluarga atau rumah
tangga. Dalam membentuk suatu keluarga tentunya memerlukan suatu komitmen yang
kuat diantara pasangan tersebut. Sehingga dalam hal ini Undang-Undang
Perkawinan No.1 tahun 1974 pada pasal 2 ayat 1 menyatakan bahwa suatu
perkawinan dapat dinyatakan sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agama dan kepercayaan pasangan yang melakukan pernikahan.
Landasan
hukum agama dalam melaksanakan sebuah perkawinan merupakan hal yang sangat
penting dalam UU No. 1 Tahun 1974, sehingga penentuan boleh tidaknya perkawinan
tergantung pada ketentuan agama. Hal ini berarti juga bahwa hukum agama
menyatakan perkawinan tidak boleh, maka tidak boleh pula menurut hukum negara.
Jadi dalam perkawinan berbeda agama yang menjadi boleh tidaknya tergantung pada
ketentuan agama. Perkawinan beda agama bagi masing-masing pihak menyangkut
akidah dan hukum yang sangat penting bagi seseorang. Hal ini berarti
menyebabkan tersangkutnya dua peraturan yang berlainan mengenai syarat- syarat
dan tata cara pelaksanaan perkawinan sesuai dengan hukum agamanya
masing-masing.
Kenyataan
dalam kehidupan masyarakat bahwa perkawinan berbeda agama itu terjadi sebagai
realitas yang tidak dipungkiri. Berdasarkan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku secara positif di Indonesia, telah jelas dan tegas menyatakan bahwa sebenarnya perkawinan antar
agama tidak diinginkan, karena bertentangan dengan hukum yang
berlaku di Indonesia. Tetapi ternyata perkawinan antar
agama masih saja terjadi dan
akan terus terjadi sebagai akibat interaksi sosial diantara
seluruh warga negara Indonesia yang pluralis agamanya.
Banyak kasus-kasus yang terjadi didalam masyarakat,
seperti perkawinan antara artis Jamal Mirdad dengan Lydia
Kandau, Katon Bagaskara dengan Ira Wibowo, Yuni Shara dengan Henri Siahaan, Adi Subono dengan Chrisye, Ari Sihasale dengan Nia
Zulkarnaen, Dedi Kobusher dengan Kalina, Frans dengan Amara,
Sonny Lauwany dengan Cornelia Agatha, dan masih banyak
lagi.
Perkawinan
antar agama yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, seharusnya tidak terjadi jika
dalam hal ini negara atau pemerintah secara tegas
melarangnya dan menghilangkan sikap mendua dalam mengatur dan melaksanakan suatu perkawinan bagi rakyatnya. Sikap ambivalensi
pemerintah dalam perkawinan beda agama ini terlihat dalam
praktek bila tidak dapat diterima oleh Kantor Urusan
Agama, dapat dilakukan di Kantor Catatan Sipil dan
menganggap sah perkawinan berbeda agama yang dilakukan
diluar negeri.
Dari
kenyataan yang terjadi di dalam masyarakat terhadap perkawinan berbeda agama,
menurut aturan perundang-undangan itu sebenarnya tidak dikehendaki. Berangkat
dari permasalahan tersebut, maka penulis mencoba memberikan pendapat tentang
Perkawinan Berbeda Agama Menurut Hukum Positif Indonesia, Dengan
diberlakukannya UU No. 1
Tahun 1974 berarti undang-undang ini merupakan Undang-undang Perkawinan Nasional karena
menampung prinsip-prinsip perkawinan yang sudah ada sebelumnya dan diberlakukan
bagi seluruh warga negara Indonesia.
Dalam
pasal 66 UU No 1 Tahun 1974 dinyatakan bahwa segala sesuatu yang berhubungan
dengan perkawinan yang diatur dalam KUH Perdata, Ordonansi Perkawinan Indonesia
Kristen dan peraturan perkawinan campuran, dinyatakan tidak berlaku sepanjang
telah diatur dalam Undang-Undang Perkawinan Nasional ini.
Dengan
demikian dasar hukum perkawinan di Indonesia yang berlaku sekarang ini antara
lain adalah :
a. Buku I
KUH Perdata
b. UU No.
1/1974 tentang Perkawinan
c. UU No.
7/1989 tentang Peradilan Agama
d. PP No.
9/1975 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 1/1974
e.
Instruksi Presiden Np. 1/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.
BAB II.
PEMBAHASAN
A.
HUKUM
ISLAM TENTANG PERNIKAHAN
1.
Arti
Pernikahan
Pernikahan
berasal dari kata dasar nikah. Kata nikah memiliki persamaan dengan kata kawin.
Menurut bahasa Indonesia, kata nikah berarti berkumpul atau bersatu. Menurut
istilah syarak, nikah itu berarti melakukan suatu akad atau perjanjian untuk
mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bertujuan
untuk menghalalkan hubungan kelamin antara keduanya dengan dasar suka rela demi
terwujudnya keluarga bahagia yang diridhoi oleh Allh SWT.
Nikah
adalah fitrah yang berarti sifat asal dan pembawaan manusia sebagai makhluk
Allah SWT. Setiap manusia yang sudah dewasa dan sehat jasmani dan rohaninya
pasti membutuhkan teman hidup yang berlawanan jenis kelaminnya. Teman hidup
yang dapat memenuhi kebutuhan biologis, yang dapat mencintai dan dicintai, yang
dapat mengasihi dan dikasihi, serta yang dapat bekerja sama untuk mewujudkan
ketentraman, kedamaian, dan kesejahteraan dalam hidup berumah tangga. Nikah
termasuk perbuatan yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. atau sunnah Rasul.
Dalam hal ini Rasulullah SAW. bersabda:
Dari Anas
bin Malik ra.,bahwasanya Nabi SAW. memuji Allah SWT dan menyanjung-Nya, beliau
bersabda: “Akan tetapi aku shalat, tidur, berpuasa, makan, dan menikahi wanita,
barang siapa yang tidak suka perbuatanku, maka bukanlah dia dari golonganku”.
(HR. Al-Bukhari dan muslim).
2.
Tujuan Pernikahan
1.
Menperoleh kebahagiaan dan ketentraman
hidup.
2.
Menperoleh keturunan yang sah.
3.
Menjaga kehormatan dan harkat manusia.
4.
Mengikuti sunnah
rasul.
5.
Jelasnya,
hikmah pernikahan itu adalah sebagai berikut:
6.
Menciptakan
struktur sosial yang jelas dan adil.
7.
Dengan
nikah, akan terangkat status dan derajat kaum wanita.
8.
Dengan
nikah akan tercipta regenerasi secara sah dan terhormat.
9.
Dengan
nikah agama akan terpelihara.
10. Dengan pernikahan terjadilah
keturunan yang mampu memakmuram bumi.
3.
Hukum
Pernikahan
a.
Hukum
Asal Nikah adalah Mubah
Menurut sebagian besar ulama,
hukum asal nikah adalah mubah, artinya boleh dikerjakan boleh ditinggalkan.
Dikerjakan tidak ada pahalanya dan ditingkalkan tidak berdosa. Meskipun
demikian, ditinjau dari segi kondisi orang yang akan melakukan pernikahan,
hukum nikah dapat berubah menjadi sunnah, wajib, makruh atau haram.
b.
Nikah
yang Hukumnya Sunnah
Sebagian
besar ulama berpendapat bahwa pada prinsipnya nikah itu sunnah. Alasan yang
mereka kemukakan bahwa perintah nikah dalam berbagai Al-Qur’an dan hadits hanya
merupakan anjuran walaupun banyak kata-kata amar dalam ayat dan hadits
tersebut. Akan tetapi, bukanlah amar yang berarti wajib sebab tidak semua amar
harus wajib, kadangkala menunjukkan sunnah bahkan suatu ketika hanya mubah.
Adapun nikah hukumnya sunnah bagi orang yang sudah mampu memberi nafkah dan
berkehendak untuk nikah.
c.
Nikah
yang Hukumnya Wajib
Nikah
menjadi wajib menurut pendapat sebagian ulama dengan alasan bahwa diberbagai
ayat dan hadits sebagaimana tersebut diatas disebutkan wajib. Terutama
berdasarkan hadits riwayat Ibnu Majah seperti dalam sabda Rasulullah SAW.,
“Barang siapa yang tidak mau melakukan sunnahku, maka tidaklah termasuk
golonganku”.
Selanjutnya nikah itu wajib sesuai dengan faktor dan situasi. Jika ada sebab
dan faktor tertentu yang menyertai nikah menjadi wajib. Contoh: jika kondisi
seseorang sudah mampu memberi nafkah dan takut jatuh pada perbuatan zina, dalam
situasi dan kondisi seperti itu wajib nikah. Sebab zina adalah perbuatan keji
dan buruk yang dilarang Allah SWT. Rasulullah SAW. bersabda sebagai berikut.
Dari
Aisyah ra., Nabi SAW. besabda: “Nikahilah olehmu wanita-wanita itu, sebab
sesungguhnya mereka akan mendatangkan harta bagimu”. (HR. Al-Hakim dan Abu
Daud).
d.
Nikah
yang Hukumnya Makruh
Hukum
nikah menjadi makruh apabila orang yang akan melakukan perkawinan telah
mempunyai keinginan atau hasrat yang kuat, tetapi ia belum mempunyai bekal
untuk memberi nafkah tanggungannya.
e.
Nikah
yang Hukumnya Haram
Nikah
menjadi haram bagi seseorang yang mempunyai niat untuk menyakiti perempuan yang dinikahinya.
Dalam
sebuah hadits Rasulullah SAW. pernah bersabda: “Barangsiapa yang tidak mampu
menikah hendaklah dia puasa karena dengan puasa hawa nafsunya terhadap prempuan
akan berkurang”. (HR. Jamaah Ahli Hadits)
Firman Allah di dalam Q.S An-Nisaa /4,3 :
3: Dan
jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang
yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang
kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil[265], Maka (kawinilah) seorang saja[266], atau budak-budak yang
kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
[265] berlaku adil ialah perlakuan yang adil dalam
meladeni isteri seperti pakaian, tempat, giliran dan lain-lain yang bersifat
lahiriyah.
[266] Islam memperbolehkan poligami dengan
syarat-syarat tertentu. sebelum turun ayat Ini poligami sudah ada, dan pernah
pula dijalankan oleh para nabi sebelum nabi Muhammad s.a.w. ayat Ini membatasi
poligami sampai empat orang saja.
Dan
nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga
orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan
perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberikan kemampuan kepada mereka
dengan kemampuan-Nya. Dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya), MahaMengetahui.
QS.An-Nur/24,32 :
32: Dan
kawinkanlah orang-orang yang sedirian[1035] diantara kamu, dan orang-orang yang
layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu
yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan
kurnia-Nya. dan
Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.
[1035] Maksudnya: hendaklah laki-laki yang belum
kawin atau wanita- wanita yang tidak bersuami, dibantu agar mereka dapat kawin.
Berpijak
dari firman Allah dan hadits sebagaimana tersebut di atas, maka bahwa dapat
dijelaskan bahwa hukum menikah itu akan berubah sesuai dengan faktor dan sebab
yang menyertainya. Dalam hal ini setiap mukalaf penting untuk mengetahuinya.
Misalnya, orang-orang yang belum baligh, seorang pemabuk, atau sakit gila, maka
dalam situasi dan kondisi semacam itu seseorang haram uinutuk menikah. Sebab,
jikja mereja menikah dikhawatirkan hanya akan menimbulkan mudharat yang lebih
besar pada orang lain.
4.
Syarat
dan Rukun Nikah
Rukun
nikah adalah unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk melangsungkan suatu
pernikahan. Rukun nikah terdiri atas:
a.
Calon suami,
syaratnya antara lain beragama Islam, benar-benar pria, tidak karena terpaksa,
bukan mahram (perempuan calon istri), tidak sedang ihram haji atau umrah, dan
usia sekurang-kurangnya 19 tahun.
b.
Calon
istri, syaratnya antara lain beragama Islam, benar-benar perempuan, tidak
karena terpaksa, halal bagi calon suami, tidak bersuami, tidak sedang ihram
haji atau umrah, dan usia sekurang-kurangnya 16 tahun.
c.
Sigat
akad, yang terdiri atas ijab dan kabul. Ijab dan kabul ini dilakukan olehy wali
mempelai perempuan dan mempelai laki-laki. Ijab diucapkan wali mempelai
perempuan dan kabul diucapkan wali mempelai laki-laki.
d.
Wali
mempelai perempuan, syaratnya laki-laki, beragama islam, baligh (dewasa),
berakal sehat, merdeka (tidak sedang ditahan), adil, dan tidak sedang ihram
haji atau umrah. Wali inilah yang menikahkan mempelai perempuan atau
mengizinkan pernikahannya.
Sabda Nabi Muhammad SAW ; Dari Aisyah ra., Rasulullah SAW. bersbda: “perempuan
mana saja yang menikah tanpa izin walinya, maka pernikahan itu batal (tidak
sah)”. (HR. Al-Arba’ah kecuali An-Nasa’i).
Mengenai
susunan dan urutan yang menjadi wali adalah sebagai berikut:
1) Bapak
kandung, bapak tiri tidak sah menjadi wali.
2) Kakek,
yaitu bapak dari bapak mempelai perempuan.
3)
Saudara laki-laki kandung.
4) Saudara
laklaki sebapak.
5) Anak
laki-laki dari saudara laki-laki kandung.
6) Anak
laki-laki dari saudara laki-laki sebapak.
7) Paman
(saudara laki-laki bapak).
8) Anak
laki-laki paman.
9) Hakim.
Wali hakim berlaku apabila wali yang tersebut di atas semuanya tidak ada,
sedang berhalangan, atau menyerahkan kewaliannya kepada hakim.
e. Dua orang
saksi, syaratnya laki-laki, beragama islam, baligh (dewasa), berakal sehat,
merdeka (tidak sedang ditahan), adil, dan tidak sedang ihram haji atau umrah.
Pernikahan yang dilakukan tanpa saksi adalah tidak sah.
Sabda
Nabi Muhammad SAW; Dari Aisyah ra., Rasulullah SAW. bersabda: “Tidak sah nikah
melainkan dengan wali dan dua orang saksi yang adil.” (HR. Ibnu Hiban)
5.
Pernikahan
yang Terlarang
Pernikahan
yang terlarang aalah pernikahan yang di haramkan oleh agama Islam. Adapun
penikahan yang terlarang adalah sebagai berikut:
a. Nikah
Mut’ah
Nikah
mut’ah adalah pernikahan yang diniatkan dan diakadkan untuk sementara waktu
saja (hanya untuk bersenang-senang), misalnya seminggu, satu bulan, atau dua
bulan. Masa berlakunya pernikahan dinyatakan terbatas. Nikah mut’ah telah
dilarang oleh rasulullah SAW. sebagaimana dijelaskan dalam suatu hadits:
Dari
Rabi’ bin Sabrah al-Juhani bahwasannya bapaknya meriwayatkan, ketika dia
bersama rasulullah SAW., beliau bersabda: “wahai sekalian manusia, dulu pernah
aku izinkan kepada kamu sekalian perkawinan mut’ah, tetapi ketahuilah
sesungguhnya Allah telah mengharamkannya sampai hari kiamat”. (HR. Muslim)
b. Nikah
Syigar
Nikah
syigar adalah apabila seorang laki-laki mengawinkan anak perempuannya dengan
tujuan agar seorang laki-laki lain menikahkan anak perempuannya kepada
laki-laki (pertama) tanpa mas kawin (pertukaran anak perempuan). Perkawinan ini
dilarang dengan sabda Rasulullah SAW. Dari Ibnu Umar ra., sesungguhnya
Rasulullah SAW. melarang perkawinan syigar. (HR. Muslim).
c. Nikah
Muhallil
Nikah
muhallil adalah pernikahan yang dilakukan seorang laki-laki terhadap seorang
perempuan yang tidak ditalak ba’in, dengan bermaksud pernikahan tersebut
membuka jalan bagi mantan suami (pertama) untuk nikah kembali dengan bekas
istrinya tersebut setelah cerai dan habis masa idah.
Dikatakan
muhallil karena dianggap membuat halal bekas suami yang menalak ba’in untuk
mengawini bekas istrinya. Pernikahan ini dilarang oleh rasulullah SAW. dengan
hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud:
Dari Ibnu
Abbas ra., Rasulullah SAW. melaknat muhallil (yang mengawini setelah ba’in) dan
muhallil lalu (bekas suami pertama yang akan mengawini kembali). (HR. Al-Kamsah
kecuali Nasai)
d. Kawin
dengan pezina
Seorang
laki-laki yang baik-baik tidak diperbolehkan (haram) mengawini perempuan
pezina. Wanita pezina hanya diperbolehkan kawin dengan laki-laki pezina,
kecuali kalau perempuan itu benar-benar bertobat.
Firman
Allah SWT dalam QS. An-Nur/24:3 :
3: Laki-laki
yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan
yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh
laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan
atas oran-orang yang mukmin[1028].
[1028] maksud ayat Ini ialah: tidak pantas orang
yang beriman kawin dengan yang berzina, demikian pula sebaliknya.
Akan
tetapi, kalau perempuan pezina tersebut sudah bertobat, halallah perkawinan
yang dilakukannya. Sesuai dengan sabda Rasulullah SAW.:
Dari Abu Ubaidah bin abdullah dari ayahnya berkata: “Bersabda rasulullah SAW.:
Orang yang bertobat dari dosa tidak ada lagi dosa baginya.” (HR. Ibnu Majah)
Dengan demikian, secara lahiriah perempuan pezina kalau benar-benar bertobat,
maka dapat kawin dengan laki-laki yang bukan pezina (baiuk-baik)
B.
HIKMAH PERNIKAHAN
Pernikahan
adalah ikatan batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri. Ia
merupukan pintu gerbang kehidupan berkeluarga yang mempunyai pengaruh terhadap
keturunan dan kehidupan masyrakat. Keluarga yang kokoh dan baik menjadi syarat
penting bagi kesejahteraan masyarakat dan kebahagiaan umat manusia pada
umumnya.
Agama
mengajarkan bahwa pernikahan adalah sesuatu yang suci, baik, dan mulia.
Pernikahan menjadi dinding kuat yang memelihara manusia dari kemungkinan jatuh
ke lembah dosa yang disebabkan oleh nafsu birahi yang tak terkendalikan. Banyak
sekali hikmah yang terkandung dalam pernikahan, antara lain sebagai
kesempurnaan ibadah, membina ketentraman hidup, menciptakan ketenangan batin,
kelangsungan keturunan, terpelihara dari noda dan dosa, dan lain-lain. Di bawah
ini dikemukakan beberapa hikmah pernikahan.
1.Pernikahan
Dapat Menciptakan Kasih Sayang dan ketentraman
Manusia
sebagai makhluk yang mempunyai kelengkapan jasmaniah dan rohaniah sudah pasti
memerlukan ketenangan jasmaniah dan rohaniah. Kenutuhan jasmaniah perlu
dipenuhi dan kepentingan rohaniah perlu mendapat perhatian. Ada kebutuhan pria
yang pemenuhnya bergantung kepada wanita. Demikian juga sebaliknya. Pernikahan
merupakan lembaga yang dapat menghindarkan kegelisahan. Pernikahan merupakan
lembaga yang ampuh untuk membina ketenangan, ketentraman, dan kasih sayang
keluarga. Allah berfirman Q.S
Ar-Rum/30,21 :
. 21: Dan di
antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri
dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.
2. Pernikahan
Dapat Melahirkan keturunan yang Baik
Setiap
orang menginginkan keturunan yang baik dan shaleh. Anak yang shaleh adalah
idaman semua orang tua. Selain sebagai penerus keturunan, anak yang shaleh akan
selalu mendoakan orang tuanya.
Rasulullah
SAW. bersabda:
Dari Abu
Hurairah ra., Rasulullah SAW., bersabda: “Apabila telah mati manusia cucu Adam,
terputuslah amalnya kecuali tiga perkara, yaitu sedekah jariah, ilmu yang
bermanfaat, dan anak shaleh yang mendoakannya”. (HR. Muslim).
3. Dengan Pernikahan, Agama Dapat Terpelihara
Menikahi
perempuan yang shaleh, bahtera kehidupan rumah tangga akan baik. Pelaksanaan
ajaran agama terutama dalam kehidupan berkeluarga, berjalan dengan teratur.
Rasulullah SAW. memberikan penghargaan yang tinggi kepada istri yang shaleh.
Mempunyai istri yang shaleh, berarti Allah menolong suaminya melaksanakan
setengah dari urusan agamnya. Beliau bersabda: Dari Anas bin malik ra.,
Rasulullah SAW., bersabda: “Barang siapa dianugerahkan Allah Istri yang
shalehah, maka sungguh Allah telah menolong separuh agamanya, maka hendaklah ia
memelihara separuh yang tersisa”.(HR. At-Thabrani).
4.
Pernikahan dapat Memelihara Ketinggian martabat Seorang Wanita
Wanita
adalah teman hidup yang paling baik, karena itu tidak boleh dijadikan mainan.
Wanita harus diperlakukan dengan sebaik-baiknya. Pernikahan merupakan cara
untuk memperlakukan wanita secara baik dan terhormat. Sesudah menikah, keduanya
harus memperlakukan dan menggauli pasangannya secara baik dan terhormat pula.
Firman
Allah dalam Q.S An-Nisa/4,19 dan 25 :
19: Hai orang-orang yang
beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa[278] dan
janganlah kamu menyusahkan mereka Karena hendak mengambil kembali sebagian dari
apa yang Telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan
pekerjaan keji yang nyata[279]. dan bergaullah dengan mereka secara patut.
Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) Karena mungkin
kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang
banyak.
[278] ayat Ini tidak menunjukkan bahwa mewariskan
wanita tidak dengan jalan paksa dibolehkan. menurut adat sebahagian Arab
Jahiliyah apabila seorang meninggal dunia, Maka anaknya yang tertua atau anggota
keluarganya yang lain mewarisi janda itu. janda tersebut boleh dikawini sendiri
atau dikawinkan dengan orang lain yang maharnya diambil oleh pewaris atau tidak
dibolehkan kawin lagi.
[279] Maksudnya: berzina atau membangkang perintah.
25: Dan barangsiapa diantara kamu (orang merdeka)
yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman,
ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki.
Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang
lain[285], Karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan berilah
maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang
memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki
lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka Telah menjaga diri dengan kawin,
Kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), Maka atas mereka separo
hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (Kebolehan mengawini
budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut kepada kemasyakatan menjaga diri
(dari perbuatan zina) di antara kamu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. dan
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
[285] Maksudnya: orang merdeka dan budak yang
dikawininya itu adalah sama-sama keturunan Adam dan hawa dan sama-sama beriman.
5. Pernikahan Dapat Menjauhkan Perzinahan
Setiap
orang, baik pria maupun wanita, secara naluriah memiliki nafsu seksual. Nafsu
ini memerlukan penyaluran dengan baik. Saluran yang baik, sehat, dan sah adalah
melalui pernikahan. Jika nafsu birahi besar, tetapi tidak mau nikah dan tetap
mencari penyaluran yang tidak sehat, dan melanggar aturan agama, maka akan
terjerumus ke lembah perzinahan atau pelacuran yang dilarang keras oleh agama.
Firman Allah dalam Q.S Al-isra/ 17,32:
32. Dan janganlah kamu mendekati zina;
Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang
buruk.
C.
KETENTUN
PERKAWINAN DALAM KAPASITAS HUKUM ISLAM DI INDONESIA
1. Pengertian Perkawinan
Perkawinan menurut UU No. 01
Tahun 1974 mempunyai beberapa asas, yaitu sebagai berikut:
1.
Asas
sukarela (suka sama suka) Perkawinan dilangsungkan atas dasar suka sama suka,
yaitu dengan adanya persetujuan dari kedua belah pihak calon mempelai. Dalam
hal ini tidak ada unsur paksaan. Kalau ada perkawinan dengan paksaan, suami
atau istri dapat melakukan pembatalan perkawinan (Pasal 71 huruf FKHI).
2.
Asas
partisipasi keluarga untuk melangsungkan perkawinan seseorang yang belum
berumur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tuanya .... (Pasal 6). Apabila
ada seseorang yang belum berumur 21 tahun tidak mendapat izin orang tua, PPN
(Pegawai Pencatat Nikah) memberikan surat penolakkan untik melangsungkan
pernikahan.
3.
Asas
perceraian dipersulit sekalipun talak adalah hak laki-laki, tetapi ia tidak
boleh melakukan haknya itu semena-mena.
Pasal 37 UU No. 01 TAHUN 1974 menyebutkan sebagai berikut:
1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah
pengadilan yang bersangkutan telah berusaha dan tidak berhasil mendamaikan
kedua belah pihak
2) Untuk melakukan perceraian
harus ada cukup alasan bahwa suami istri tidak akan dapat rukun sebagai suami
istri.
3) Tata cara perceraian di
depan pengadilan diatur dalam Peraturan Perundang-undangan (PP No. 09 Tahun
1975 jo. UU No. 1 Tahun 1974). Alasan-alasan perceraian (diatur dalam UU No. 01
tahun 1974 jo. Pasal 19 PP No. 09 Tahun 1975) sebagai berikut:
1.
Salah
satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, penjudi, dan sebagainya yang
sulit disembuhkan.
2.
Salah
satu pihak meninggalkan yang lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin
dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemauannya.
3.
Salah
satu pihak mendapatkan hukuman penjara lima tahun atau lebih.v
Salah satu pihak melakukan kekejaman
atau penganiayaan berat yang membahyakan pihak lain.
4.
Salah
satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan menjalankan
kewajibannya sebagai suami atau istri.
5.
Terdapat perselisihan yang trus-menerus antara
keduanya.
4.
Asas
poligami diperketat (Pasal 4 No. 01 Tahun 1974) 1) Dalam hal seorang suami akan
beristri lebih dari satu, ia wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan di
daerah tempat tinggalnya.
2) Pengadilan yang dimaksud
(1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri
lebih dari seorang, apabila: Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai
seorang istri. Istri
mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Istri tidak
dapat melahirkan keturunan. (Untuk lebih jelasnya baca Pasal 41 PP Tahun 9
1975).
5. Asas kematangan berkeluarga/
berumah tangga (Diatur dalam Pasal 7 uu no. 01 tahun 1974) sebagai berikut: 1)
Perkawinan hanya diizinkan jika pria mencapa umur 19 tahun dan wanita mencapai
umur 16 tahun. 2) Apabila calon mempelai belum mencapai umur tersebut diatas,
dapat diminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat yang ditunjuk kedua
orang tua pihak pria maupun wanita.
6.
Asas
mengangkat derajat kaum wanitaBerkat perjuangan seorang pahlawan putri dari
rembang R.A. Kartini, yang mempunyai keteladanan untuk selalu menjunjung
derajat wanita, terbuktilah sekarang bahwa derajat wanita sama dengan pria.
2. Kewajiban Pencatatan
Perkawinan
Seseorang yang akan melakukan
pernikahan terhadap seorang wanita, terlebih dahulu melaporkan kepada
pemerintah yang ditunjuk untuk menanganinya dan membawa prosedur perkawinan,
yaitu:
a)
Melapor
kepada PPN dan yang bertuga mencatat laporan tersebut dari calon mempelai.
b)
Melengkapi
surat-surat untuk nikah yang sudah dipersiapkan.
c)
PPN
mengumumkan minimal 10 hari sebelum perkawinan.
d)
Dilangsungkan
guna memberi kesempatan bagi yang akan melakukan pencegahan.
e)
Apabila
tidak ada yang melakukan pencegahan, barulah perkawinan dapat dilangsungkan dan
kedua mempelai dapat dibuatkan kutipan akta nikah.
3. Sahnya Perkawinan
Perkawinan seorang muslim
dapat dikatakan sah apabila dilakukan menurut hukum Islam, sesuai dengan Pasal
2 ayat (1) UU No. 01 Tahun 1974 berbunyi: “Perkawinan adalah sah apabila
dilakukan menurut agama (kepercayaan) masing-masing”.
4. Tujuan Pernikahan
Menurut Kompilasi Hukum islam
Pasal 3: “Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang
sakinah, mawadah, dan rahwah”. Dalam wujud perkawinan, kedua mempelai yang
dapat membuat hati menjadi tenteram. Baik suami yang menganggap istri yang
paling cantik diantara wanita-wanita lain, begitu juga seorang istri yang
menganggap suaminyalah laki-laki yang menarik hatinya. Masing-masing merasa
tentram hatinya dalam membina rumah tangga. Kemudian denganm adanya rumah
tangga yang berbahagia dan jiwa yang tentram, hati dan tubuh menjadi bersatu,
maka kehidupan dan penghidupan menjadi mantap, kegairahan hidup akan timbul,
dan Allah menetapkan ketentuan-ketentuan hidup suami istri. Untuk mencapai
kebahagiaan hidup adalah dengan menjalankan perintah-perintah agama. Peran Pengadilan
Agama dalam Hukum Perkawinan Menurut UU No. 01 Tahun 1974 dan UU No. 7 Tahun
1989. Sesuai dengan kedudukan sebagai pengadilan negeri, Pasal 2 UU No. 7 Tahun
1989 mengatakan: “Peradilan agama merupakan salah satu kekuasaan kehakiman bagi
rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu
yang diatur dalam undang-undang ini”.
Dalam pasal 3 disebutkan
sebagai berikut:
(1) Kekuasaan kehakiman
dilingkungan peradilan agama dilaksanakan oleh:
(a)
Pengadilan
Agama
(b)
Pengadilan
Tinggi Agama.
(2) Kekuasaan kehakiman dilingkungan peradilan agama berpuncak pada Mahkamah
agung, sebagai pengadilan negara tertinggi. Kekuasaan pengadilan agama lebih
lanjut diperinci dalam Pasal 49 ayat (1) yang menegaskan bahwa peradilan agama
bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara
ditingkat pertama antar orang-orang yang beragama Islam dibidang:
(a)
Perkawinan
(b)
Kewarisan,
waisat, dan hibah yang dilakukan
(c)
Berdasarkan
hukum Islam
(d)
Wakaf dan
sedekah.
Sifat kewenangan masing-masing
lingkungan peradilan adalah absolut atau memaksa. Hal-hal yang telah ditentukan
menjadi kekuasaan atau kewenangan peradilan, yang menjadi kewenangan mutlak
bagi lingkungan peradilan, yaitu memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikannya.
Sebaliknya setiap perkara yang tidak termasuk kedalam bidang kewenangannya,
secara absolut pula dia tidak berwenang untuk mengadilinya.
BAB III.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari dalam makalah ini “ Islam
dalam Membangun Keluarga Sakinah Mawaddah Warahmah” kami mengambil kesimpulan
bahwa; Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sangat dalam dan kuat sebagai
penghubung antara seorang pria dengan seorang wanita dalam membentuk suatu
keluarga atau rumah tangga. Dalam membentuk suatu keluarga tentunya memerlukan
suatu komitmen yang kuat diantara pasangan tersebut.
B.
Saran
Sebagai manusia yang tak
pernah lepas dari kekurangan dan kehilafan, dengan sepucuk kata kami meminta
maaf jika dari makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Semoga dengan adanya
makalah ini bisa menjadi bahan pembelajaran kita semua baik di kampus maupun
diluar kampus.
DAFTAR PUSTAKA
Aminuddin, 2008, Pendidikan
Agama Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Umar Anshori, 1986, Fiqih Wanita. Semarang
; CV. Asy-Syifa’.