Terima Kasih Atas Kunjungannya

Jumat, 13 April 2012

Analisis SWOT


Analisis SWOT

S = Strengths ( Kekuatan-Internal )
W = Weaknesses ( Kelemahan-Internal )
O = Opportunity ( Peluang-Eksternal )
T = Threats ( Ancaman-Eksternal )

Ket :
Di dalam                 (+) = KEKUATAN
Di dalam                 (-)  = KELEMAHAN
Di luar                    (-) = ANCAMAN
Di luar                    (+) = PELUANG

Islam dalam Membangun Keluarga Sakinah Mawaddah Warahmah


KATA PENGANTAR
Bismillahi Rahmanirrahim,
Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas berkat dan rahmat – Nya sehingga makalah ini bisa selesai. Tidak lupa kita kirimkan shalawat dan taslim kepada junjungan kita nabiullah Muhammad SAW beserta sahabat-sahabatnya. Membahas masalah nikah memang penting untuk diketahui khususnya umat islam, karena sebagian dari kita pasti menginginkan yang namanya pernikahan dan keluarga yang sakinah mawaddah warahmah. Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sangat dalam dan kuat sebagai penghubung antara seorang pria dengan seorang wanita dalam membentuk suatu keluarga atau rumah tangga. Dalam membentuk suatu keluarga tentunya memerlukan suatu komitmen yang kuat diantara pasangan tersebut. Sehingga dalam hal ini Undang-Undang Perkawinan No.1 tahun 1974 pada pasal 2 ayat 1 menyatakan bahwa suatu perkawinan dapat dinyatakan sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan pasangan yang melakukan pernikahan.

Penulis,

Adhyel



BAB I. PENDAHULUAN

A.            Latar Belakang Masalah
Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sangat dalam dan kuat sebagai penghubung antara seorang pria dengan seorang wanita dalam membentuk suatu keluarga atau rumah tangga. Dalam membentuk suatu keluarga tentunya memerlukan suatu komitmen yang kuat diantara pasangan tersebut. Sehingga dalam hal ini Undang-Undang Perkawinan No.1 tahun 1974 pada pasal 2 ayat 1 menyatakan bahwa suatu perkawinan dapat dinyatakan sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan pasangan yang melakukan pernikahan.
Landasan hukum agama dalam melaksanakan sebuah perkawinan merupakan hal yang sangat penting dalam UU No. 1 Tahun 1974, sehingga penentuan boleh tidaknya perkawinan tergantung pada ketentuan agama. Hal ini berarti juga bahwa hukum agama menyatakan perkawinan tidak boleh, maka tidak boleh pula menurut hukum negara. Jadi dalam perkawinan berbeda agama yang menjadi boleh tidaknya tergantung pada ketentuan agama. Perkawinan beda agama bagi masing-masing pihak menyangkut akidah dan hukum yang sangat penting bagi seseorang. Hal ini berarti menyebabkan tersangkutnya dua peraturan yang berlainan mengenai syarat- syarat dan tata cara pelaksanaan perkawinan sesuai dengan hukum agamanya masing-masing.
Kenyataan dalam kehidupan masyarakat bahwa perkawinan berbeda agama itu terjadi sebagai realitas yang tidak dipungkiri. Berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku secara positif di Indonesia, telah jelas dan tegas menyatakan bahwa sebenarnya perkawinan antar agama tidak diinginkan, karena bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Tetapi ternyata perkawinan antar agama masih saja terjadi dan akan terus terjadi sebagai akibat interaksi sosial diantara seluruh warga negara Indonesia yang pluralis agamanya. Banyak kasus-kasus yang terjadi didalam masyarakat, seperti perkawinan antara artis Jamal Mirdad dengan Lydia Kandau, Katon Bagaskara dengan Ira Wibowo, Yuni Shara dengan Henri Siahaan, Adi Subono dengan Chrisye, Ari Sihasale dengan Nia Zulkarnaen, Dedi Kobusher dengan Kalina, Frans dengan Amara, Sonny Lauwany dengan Cornelia Agatha, dan masih banyak lagi.
Perkawinan antar agama yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, seharusnya tidak terjadi jika dalam hal ini negara atau pemerintah secara tegas melarangnya dan menghilangkan sikap mendua dalam mengatur dan melaksanakan suatu perkawinan bagi rakyatnya. Sikap ambivalensi pemerintah dalam perkawinan beda agama ini terlihat dalam praktek bila tidak dapat diterima oleh Kantor Urusan Agama, dapat dilakukan di Kantor Catatan Sipil dan menganggap sah perkawinan berbeda agama yang dilakukan diluar negeri.
Dari kenyataan yang terjadi di dalam masyarakat terhadap perkawinan berbeda agama, menurut aturan perundang-undangan itu sebenarnya tidak dikehendaki. Berangkat dari permasalahan tersebut, maka penulis mencoba memberikan pendapat tentang Perkawinan Berbeda Agama Menurut Hukum Positif Indonesia, Dengan diberlakukannya UU No. 1 Tahun 1974 berarti undang-undang ini merupakan Undang-undang Perkawinan Nasional karena menampung prinsip-prinsip perkawinan yang sudah ada sebelumnya dan diberlakukan bagi seluruh warga negara Indonesia.
Dalam pasal 66 UU No 1 Tahun 1974 dinyatakan bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang diatur dalam KUH Perdata, Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen dan peraturan perkawinan campuran, dinyatakan tidak berlaku sepanjang telah diatur dalam Undang-Undang Perkawinan Nasional ini.
Dengan demikian dasar hukum perkawinan di Indonesia yang berlaku sekarang ini antara lain adalah :
a. Buku I KUH Perdata
b. UU No. 1/1974 tentang Perkawinan
c. UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama
d. PP No. 9/1975 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 1/1974
e. Instruksi Presiden Np. 1/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.



BAB II. PEMBAHASAN

A.            HUKUM ISLAM TENTANG PERNIKAHAN
1.            Arti Pernikahan
Pernikahan berasal dari kata dasar nikah. Kata nikah memiliki persamaan dengan kata kawin. Menurut bahasa Indonesia, kata nikah berarti berkumpul atau bersatu. Menurut istilah syarak, nikah itu berarti melakukan suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bertujuan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara keduanya dengan dasar suka rela demi terwujudnya keluarga bahagia yang diridhoi oleh Allh SWT.
Nikah adalah fitrah yang berarti sifat asal dan pembawaan manusia sebagai makhluk Allah SWT. Setiap manusia yang sudah dewasa dan sehat jasmani dan rohaninya pasti membutuhkan teman hidup yang berlawanan jenis kelaminnya. Teman hidup yang dapat memenuhi kebutuhan biologis, yang dapat mencintai dan dicintai, yang dapat mengasihi dan dikasihi, serta yang dapat bekerja sama untuk mewujudkan ketentraman, kedamaian, dan kesejahteraan dalam hidup berumah tangga. Nikah termasuk perbuatan yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. atau sunnah Rasul. Dalam hal ini Rasulullah SAW. bersabda:
Dari Anas bin Malik ra.,bahwasanya Nabi SAW. memuji Allah SWT dan menyanjung-Nya, beliau bersabda: “Akan tetapi aku shalat, tidur, berpuasa, makan, dan menikahi wanita, barang siapa yang tidak suka perbuatanku, maka bukanlah dia dari golonganku”. (HR. Al-Bukhari dan muslim).

2.            Tujuan Pernikahan
1.      Menperoleh kebahagiaan dan ketentraman hidup.
2.      Menperoleh keturunan yang sah.
3.      Menjaga kehormatan dan harkat manusia.
4.      Mengikuti sunnah rasul.
5.      Jelasnya, hikmah pernikahan itu adalah sebagai berikut:
6.      Menciptakan struktur sosial yang jelas dan adil.
7.      Dengan nikah, akan terangkat status dan derajat kaum wanita.
8.      Dengan nikah akan tercipta regenerasi secara sah dan terhormat.
9.      Dengan nikah agama akan terpelihara.
10.  Dengan pernikahan terjadilah keturunan yang mampu memakmuram bumi.

3.            Hukum Pernikahan
a.              Hukum Asal Nikah adalah Mubah
Menurut sebagian besar ulama, hukum asal nikah adalah mubah, artinya boleh dikerjakan boleh ditinggalkan. Dikerjakan tidak ada pahalanya dan ditingkalkan tidak berdosa. Meskipun demikian, ditinjau dari segi kondisi orang yang akan melakukan pernikahan, hukum nikah dapat berubah menjadi sunnah, wajib, makruh atau haram.
b.             Nikah yang Hukumnya Sunnah
Sebagian besar ulama berpendapat bahwa pada prinsipnya nikah itu sunnah. Alasan yang mereka kemukakan bahwa perintah nikah dalam berbagai Al-Qur’an dan hadits hanya merupakan anjuran walaupun banyak kata-kata amar dalam ayat dan hadits tersebut. Akan tetapi, bukanlah amar yang berarti wajib sebab tidak semua amar harus wajib, kadangkala menunjukkan sunnah bahkan suatu ketika hanya mubah. Adapun nikah hukumnya sunnah bagi orang yang sudah mampu memberi nafkah dan berkehendak untuk nikah.
c.              Nikah yang Hukumnya Wajib
Nikah menjadi wajib menurut pendapat sebagian ulama dengan alasan bahwa diberbagai ayat dan hadits sebagaimana tersebut diatas disebutkan wajib. Terutama berdasarkan hadits riwayat Ibnu Majah seperti dalam sabda Rasulullah SAW., “Barang siapa yang tidak mau melakukan sunnahku, maka tidaklah termasuk golonganku”.
Selanjutnya nikah itu wajib sesuai dengan faktor dan situasi. Jika ada sebab dan faktor tertentu yang menyertai nikah menjadi wajib. Contoh: jika kondisi seseorang sudah mampu memberi nafkah dan takut jatuh pada perbuatan zina, dalam situasi dan kondisi seperti itu wajib nikah. Sebab zina adalah perbuatan keji dan buruk yang dilarang Allah SWT. Rasulullah SAW. bersabda sebagai berikut.
Dari Aisyah ra., Nabi SAW. besabda: “Nikahilah olehmu wanita-wanita itu, sebab sesungguhnya mereka akan mendatangkan harta bagimu”. (HR. Al-Hakim dan Abu Daud).
d.             Nikah yang Hukumnya Makruh
Hukum nikah menjadi makruh apabila orang yang akan melakukan perkawinan telah mempunyai keinginan atau hasrat yang kuat, tetapi ia belum mempunyai bekal untuk memberi nafkah tanggungannya.
e.              Nikah yang Hukumnya Haram
Nikah menjadi haram bagi seseorang yang mempunyai niat untuk menyakiti perempuan  yang dinikahinya.
Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW. pernah bersabda: “Barangsiapa yang tidak mampu menikah hendaklah dia puasa karena dengan puasa hawa nafsunya terhadap prempuan akan berkurang”. (HR. Jamaah Ahli Hadits)
Firman Allah di dalam Q.S An-Nisaa /4,3 :
3: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil[265], Maka (kawinilah) seorang saja[266], atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
[265]  berlaku adil ialah perlakuan yang adil dalam meladeni isteri seperti pakaian, tempat, giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah.
[266]  Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. sebelum turun ayat Ini poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan oleh para nabi sebelum nabi Muhammad s.a.w. ayat Ini membatasi poligami sampai empat orang saja.
Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberikan kemampuan kepada mereka dengan kemampuan-Nya. Dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya), MahaMengetahui. QS.An-Nur/24,32 :
32: Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian[1035] diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.
[1035]  Maksudnya: hendaklah laki-laki yang belum kawin atau wanita- wanita yang tidak bersuami, dibantu agar mereka dapat kawin.
Berpijak dari firman Allah dan hadits sebagaimana tersebut di atas, maka bahwa dapat dijelaskan bahwa hukum menikah itu akan berubah sesuai dengan faktor dan sebab yang menyertainya. Dalam hal ini setiap mukalaf penting untuk mengetahuinya. Misalnya, orang-orang yang belum baligh, seorang pemabuk, atau sakit gila, maka dalam situasi dan kondisi semacam itu seseorang haram uinutuk menikah. Sebab, jikja mereja menikah dikhawatirkan hanya akan menimbulkan mudharat yang lebih besar pada orang lain.
4.            Syarat dan Rukun Nikah
Rukun nikah adalah unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk melangsungkan suatu pernikahan. Rukun nikah terdiri atas:
a.              Calon suami, syaratnya antara lain beragama Islam, benar-benar pria, tidak karena terpaksa, bukan mahram (perempuan calon istri), tidak sedang ihram haji atau umrah, dan usia sekurang-kurangnya 19 tahun.
b.             Calon istri, syaratnya antara lain beragama Islam, benar-benar perempuan, tidak karena terpaksa, halal bagi calon suami, tidak bersuami, tidak sedang ihram haji atau umrah, dan usia sekurang-kurangnya 16 tahun.
c.              Sigat akad, yang terdiri atas ijab dan kabul. Ijab dan kabul ini dilakukan olehy wali mempelai perempuan dan mempelai laki-laki. Ijab diucapkan wali mempelai perempuan dan kabul diucapkan wali mempelai laki-laki.
d.             Wali mempelai perempuan, syaratnya laki-laki, beragama islam, baligh (dewasa), berakal sehat, merdeka (tidak sedang ditahan), adil, dan tidak sedang ihram haji atau umrah. Wali inilah yang menikahkan mempelai perempuan atau mengizinkan pernikahannya.

Sabda Nabi Muhammad SAW ; Dari Aisyah ra., Rasulullah SAW. bersbda: “perempuan mana saja yang menikah tanpa izin walinya, maka pernikahan itu batal (tidak sah)”. (HR. Al-Arba’ah kecuali An-Nasa’i).

Mengenai susunan dan urutan yang menjadi wali adalah sebagai berikut:
1) Bapak kandung, bapak tiri tidak sah menjadi wali.
2) Kakek, yaitu bapak dari bapak mempelai perempuan.
3) Saudara laki-laki kandung.
4) Saudara laklaki sebapak.
5) Anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung.
6) Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak.
7) Paman (saudara laki-laki bapak).
8) Anak laki-laki paman.
9) Hakim. Wali hakim berlaku apabila wali yang tersebut di atas semuanya tidak ada, sedang berhalangan, atau menyerahkan kewaliannya kepada hakim.

e.   Dua orang saksi, syaratnya laki-laki, beragama islam, baligh (dewasa), berakal sehat, merdeka (tidak sedang ditahan), adil, dan tidak sedang ihram haji atau umrah. Pernikahan yang dilakukan tanpa saksi adalah tidak sah.

Sabda Nabi Muhammad SAW; Dari Aisyah ra., Rasulullah SAW. bersabda: “Tidak sah nikah melainkan dengan wali dan dua orang saksi yang adil.” (HR. Ibnu Hiban)

5.            Pernikahan yang Terlarang
Pernikahan yang terlarang aalah pernikahan yang di haramkan oleh agama Islam. Adapun penikahan yang terlarang adalah sebagai berikut:
a. Nikah Mut’ah
Nikah mut’ah adalah pernikahan yang diniatkan dan diakadkan untuk sementara waktu saja (hanya untuk bersenang-senang), misalnya seminggu, satu bulan, atau dua bulan. Masa berlakunya pernikahan dinyatakan terbatas. Nikah mut’ah telah dilarang oleh rasulullah SAW. sebagaimana dijelaskan dalam suatu hadits:
Dari Rabi’ bin Sabrah al-Juhani bahwasannya bapaknya meriwayatkan, ketika dia bersama rasulullah SAW., beliau bersabda: “wahai sekalian manusia, dulu pernah aku izinkan kepada kamu sekalian perkawinan mut’ah, tetapi ketahuilah sesungguhnya Allah telah mengharamkannya sampai hari kiamat”. (HR. Muslim)
b. Nikah Syigar
Nikah syigar adalah apabila seorang laki-laki mengawinkan anak perempuannya dengan tujuan agar seorang laki-laki lain menikahkan anak perempuannya kepada laki-laki (pertama) tanpa mas kawin (pertukaran anak perempuan). Perkawinan ini dilarang dengan sabda Rasulullah SAW. Dari Ibnu Umar ra., sesungguhnya Rasulullah SAW. melarang perkawinan syigar. (HR. Muslim).
c. Nikah Muhallil
Nikah muhallil adalah pernikahan yang dilakukan seorang laki-laki terhadap seorang perempuan yang tidak ditalak ba’in, dengan bermaksud pernikahan tersebut membuka jalan bagi mantan suami (pertama) untuk nikah kembali dengan bekas istrinya tersebut setelah cerai dan habis masa idah.
Dikatakan muhallil karena dianggap membuat halal bekas suami yang menalak ba’in untuk mengawini bekas istrinya. Pernikahan ini dilarang oleh rasulullah SAW. dengan hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud:
Dari Ibnu Abbas ra., Rasulullah SAW. melaknat muhallil (yang mengawini setelah ba’in) dan muhallil lalu (bekas suami pertama yang akan mengawini kembali). (HR. Al-Kamsah kecuali Nasai)
d. Kawin dengan pezina
Seorang laki-laki yang baik-baik tidak diperbolehkan (haram) mengawini perempuan pezina. Wanita pezina hanya diperbolehkan kawin dengan laki-laki pezina, kecuali kalau perempuan itu benar-benar bertobat.
Firman Allah SWT dalam QS. An-Nur/24:3 :
3: Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin[1028].

[1028]  maksud ayat Ini ialah: tidak pantas orang yang beriman kawin dengan yang berzina, demikian pula sebaliknya.
Akan tetapi, kalau perempuan pezina tersebut sudah bertobat, halallah perkawinan yang dilakukannya. Sesuai dengan sabda Rasulullah SAW.:
Dari Abu Ubaidah bin abdullah dari ayahnya berkata: “Bersabda rasulullah SAW.: Orang yang bertobat dari dosa tidak ada lagi dosa baginya.” (HR. Ibnu Majah)
Dengan demikian, secara lahiriah perempuan pezina kalau benar-benar bertobat, maka dapat kawin dengan laki-laki yang bukan pezina (baiuk-baik)

B.             HIKMAH PERNIKAHAN
Pernikahan adalah ikatan batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri. Ia merupukan pintu gerbang kehidupan berkeluarga yang mempunyai pengaruh terhadap keturunan dan kehidupan masyrakat. Keluarga yang kokoh dan baik menjadi syarat penting bagi kesejahteraan masyarakat dan kebahagiaan umat manusia pada umumnya.
Agama mengajarkan bahwa pernikahan adalah sesuatu yang suci, baik, dan mulia. Pernikahan menjadi dinding kuat yang memelihara manusia dari kemungkinan jatuh ke lembah dosa yang disebabkan oleh nafsu birahi yang tak terkendalikan. Banyak sekali hikmah yang terkandung dalam pernikahan, antara lain sebagai kesempurnaan ibadah, membina ketentraman hidup, menciptakan ketenangan batin, kelangsungan keturunan, terpelihara dari noda dan dosa, dan lain-lain. Di bawah ini dikemukakan beberapa hikmah pernikahan.
1.Pernikahan Dapat Menciptakan Kasih Sayang dan ketentraman
Manusia sebagai makhluk yang mempunyai kelengkapan jasmaniah dan rohaniah sudah pasti memerlukan ketenangan jasmaniah dan rohaniah. Kenutuhan jasmaniah perlu dipenuhi dan kepentingan rohaniah perlu mendapat perhatian. Ada kebutuhan pria yang pemenuhnya bergantung kepada wanita. Demikian juga sebaliknya. Pernikahan merupakan lembaga yang dapat menghindarkan kegelisahan. Pernikahan merupakan lembaga yang ampuh untuk membina ketenangan, ketentraman, dan kasih sayang keluarga.  Allah berfirman Q.S Ar-Rum/30,21 :
.  21: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.

2. Pernikahan Dapat Melahirkan keturunan yang Baik
Setiap orang menginginkan keturunan yang baik dan shaleh. Anak yang shaleh adalah idaman semua orang tua. Selain sebagai penerus keturunan, anak yang shaleh akan selalu mendoakan orang tuanya.
Rasulullah SAW. bersabda:
Dari Abu Hurairah ra., Rasulullah SAW., bersabda: “Apabila telah mati manusia cucu Adam, terputuslah amalnya kecuali tiga perkara, yaitu sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shaleh yang mendoakannya”. (HR. Muslim).

3. Dengan Pernikahan, Agama Dapat Terpelihara
Menikahi perempuan yang shaleh, bahtera kehidupan rumah tangga akan baik. Pelaksanaan ajaran agama terutama dalam kehidupan berkeluarga, berjalan dengan teratur. Rasulullah SAW. memberikan penghargaan yang tinggi kepada istri yang shaleh. Mempunyai istri yang shaleh, berarti Allah menolong suaminya melaksanakan setengah dari urusan agamnya. Beliau bersabda: Dari Anas bin malik ra., Rasulullah SAW., bersabda: “Barang siapa dianugerahkan Allah Istri yang shalehah, maka sungguh Allah telah menolong separuh agamanya, maka hendaklah ia memelihara separuh yang tersisa”.(HR. At-Thabrani).
4. Pernikahan dapat Memelihara Ketinggian martabat Seorang Wanita
Wanita adalah teman hidup yang paling baik, karena itu tidak boleh dijadikan mainan. Wanita harus diperlakukan dengan sebaik-baiknya. Pernikahan merupakan cara untuk memperlakukan wanita secara baik dan terhormat. Sesudah menikah, keduanya harus memperlakukan dan menggauli pasangannya secara baik dan terhormat pula.
Firman Allah dalam Q.S An-Nisa/4,19 dan 25 :
19: Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa[278] dan janganlah kamu menyusahkan mereka Karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang Telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata[279]. dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) Karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.

[278]  ayat Ini tidak menunjukkan bahwa mewariskan wanita tidak dengan jalan paksa dibolehkan. menurut adat sebahagian Arab Jahiliyah apabila seorang meninggal dunia, Maka anaknya yang tertua atau anggota keluarganya yang lain mewarisi janda itu. janda tersebut boleh dikawini sendiri atau dikawinkan dengan orang lain yang maharnya diambil oleh pewaris atau tidak dibolehkan kawin lagi.
[279]  Maksudnya: berzina atau membangkang perintah.

25:  Dan barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain[285], Karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka Telah menjaga diri dengan kawin, Kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), Maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut kepada kemasyakatan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antara kamu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

[285]  Maksudnya: orang merdeka dan budak yang dikawininya itu adalah sama-sama keturunan Adam dan hawa dan sama-sama beriman.

5. Pernikahan Dapat Menjauhkan Perzinahan
Setiap orang, baik pria maupun wanita, secara naluriah memiliki nafsu seksual. Nafsu ini memerlukan penyaluran dengan baik. Saluran yang baik, sehat, dan sah adalah melalui pernikahan. Jika nafsu birahi besar, tetapi tidak mau nikah dan tetap mencari penyaluran yang tidak sehat, dan melanggar aturan agama, maka akan terjerumus ke lembah perzinahan atau pelacuran yang dilarang keras oleh agama.
Firman Allah dalam Q.S Al-isra/ 17,32:
32.  Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.

C.             KETENTUN PERKAWINAN DALAM KAPASITAS HUKUM ISLAM DI INDONESIA
1. Pengertian Perkawinan
Perkawinan menurut UU No. 01 Tahun 1974 mempunyai beberapa asas, yaitu sebagai berikut:
1.      Asas sukarela (suka sama suka) Perkawinan dilangsungkan atas dasar suka sama suka, yaitu dengan adanya persetujuan dari kedua belah pihak calon mempelai. Dalam hal ini tidak ada unsur paksaan. Kalau ada perkawinan dengan paksaan, suami atau istri dapat melakukan pembatalan perkawinan (Pasal 71 huruf FKHI).
2.      Asas partisipasi keluarga untuk melangsungkan perkawinan seseorang yang belum berumur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tuanya .... (Pasal 6). Apabila ada seseorang yang belum berumur 21 tahun tidak mendapat izin orang tua, PPN (Pegawai Pencatat Nikah) memberikan surat penolakkan untik melangsungkan pernikahan.
3.      Asas perceraian dipersulit sekalipun talak adalah hak laki-laki, tetapi ia tidak boleh melakukan haknya itu semena-mena.

Pasal 37 UU No. 01 TAHUN 1974 menyebutkan sebagai berikut:
1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan telah berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak
2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa suami istri tidak akan dapat rukun sebagai suami istri.
3) Tata cara perceraian di depan pengadilan diatur dalam Peraturan Perundang-undangan (PP No. 09 Tahun 1975 jo. UU No. 1 Tahun 1974). Alasan-alasan perceraian (diatur dalam UU No. 01 tahun 1974 jo. Pasal 19 PP No. 09 Tahun 1975) sebagai berikut:
1.      Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, penjudi, dan sebagainya yang sulit disembuhkan.
2.      Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemauannya.
3.      Salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara lima tahun atau lebih.v
 Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahyakan pihak lain.
4.      Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri.
5.       Terdapat perselisihan yang trus-menerus antara keduanya.
4.      Asas poligami diperketat (Pasal 4 No. 01 Tahun 1974) 1) Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari satu, ia wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya.
2) Pengadilan yang dimaksud (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang, apabila: Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Istri tidak dapat melahirkan keturunan. (Untuk lebih jelasnya baca Pasal 41 PP Tahun 9 1975).

5.      Asas kematangan berkeluarga/ berumah tangga (Diatur dalam Pasal 7 uu no. 01 tahun 1974) sebagai berikut: 1) Perkawinan hanya diizinkan jika pria mencapa umur 19 tahun dan wanita mencapai umur 16 tahun. 2) Apabila calon mempelai belum mencapai umur tersebut diatas, dapat diminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat yang ditunjuk kedua orang tua pihak pria maupun wanita.

6.    Asas mengangkat derajat kaum wanitaBerkat perjuangan seorang pahlawan putri dari rembang R.A. Kartini, yang mempunyai keteladanan untuk selalu menjunjung derajat wanita, terbuktilah sekarang bahwa derajat wanita sama dengan pria.

2. Kewajiban Pencatatan Perkawinan
Seseorang yang akan melakukan pernikahan terhadap seorang wanita, terlebih dahulu melaporkan kepada pemerintah yang ditunjuk untuk menanganinya dan membawa prosedur perkawinan, yaitu:
a)     Melapor kepada PPN dan yang bertuga mencatat laporan tersebut dari calon mempelai.
b)     Melengkapi surat-surat untuk nikah yang sudah dipersiapkan.
c)      PPN mengumumkan minimal 10 hari sebelum perkawinan.
d)     Dilangsungkan guna memberi kesempatan bagi yang akan melakukan pencegahan.
e)     Apabila tidak ada yang melakukan pencegahan, barulah perkawinan dapat dilangsungkan dan kedua mempelai dapat dibuatkan kutipan akta nikah.

3. Sahnya Perkawinan
Perkawinan seorang muslim dapat dikatakan sah apabila dilakukan menurut hukum Islam, sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) UU No. 01 Tahun 1974 berbunyi: “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut agama (kepercayaan) masing-masing”.

4. Tujuan Pernikahan
Menurut Kompilasi Hukum islam Pasal 3: “Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawadah, dan rahwah”. Dalam wujud perkawinan, kedua mempelai yang dapat membuat hati menjadi tenteram. Baik suami yang menganggap istri yang paling cantik diantara wanita-wanita lain, begitu juga seorang istri yang menganggap suaminyalah laki-laki yang menarik hatinya. Masing-masing merasa tentram hatinya dalam membina rumah tangga. Kemudian denganm adanya rumah tangga yang berbahagia dan jiwa yang tentram, hati dan tubuh menjadi bersatu, maka kehidupan dan penghidupan menjadi mantap, kegairahan hidup akan timbul, dan Allah menetapkan ketentuan-ketentuan hidup suami istri. Untuk mencapai kebahagiaan hidup adalah dengan menjalankan perintah-perintah agama. Peran Pengadilan Agama dalam Hukum Perkawinan Menurut UU No. 01 Tahun 1974 dan UU No. 7 Tahun 1989. Sesuai dengan kedudukan sebagai pengadilan negeri, Pasal 2 UU No. 7 Tahun 1989 mengatakan: “Peradilan agama merupakan salah satu kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam undang-undang ini”.
Dalam pasal 3 disebutkan sebagai berikut:
(1) Kekuasaan kehakiman dilingkungan peradilan agama dilaksanakan oleh:
(a)  Pengadilan Agama
(b)  Pengadilan Tinggi Agama.

(2) Kekuasaan kehakiman dilingkungan peradilan agama berpuncak pada Mahkamah agung, sebagai pengadilan negara tertinggi. Kekuasaan pengadilan agama lebih lanjut diperinci dalam Pasal 49 ayat (1) yang menegaskan bahwa peradilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara ditingkat pertama antar orang-orang yang beragama Islam dibidang:
(a)  Perkawinan
(b)  Kewarisan, waisat, dan hibah yang dilakukan
(c)   Berdasarkan hukum Islam
(d)  Wakaf dan sedekah.

Sifat kewenangan masing-masing lingkungan peradilan adalah absolut atau memaksa. Hal-hal yang telah ditentukan menjadi kekuasaan atau kewenangan peradilan, yang menjadi kewenangan mutlak bagi lingkungan peradilan, yaitu memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikannya. Sebaliknya setiap perkara yang tidak termasuk kedalam bidang kewenangannya, secara absolut pula dia tidak berwenang untuk mengadilinya.



BAB III. PENUTUP
A.            Kesimpulan
Dari dalam makalah ini “ Islam dalam Membangun Keluarga Sakinah Mawaddah Warahmah” kami mengambil kesimpulan bahwa; Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sangat dalam dan kuat sebagai penghubung antara seorang pria dengan seorang wanita dalam membentuk suatu keluarga atau rumah tangga. Dalam membentuk suatu keluarga tentunya memerlukan suatu komitmen yang kuat diantara pasangan tersebut.

B.            Saran
Sebagai manusia yang tak pernah lepas dari kekurangan dan kehilafan, dengan sepucuk kata kami meminta maaf jika dari makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Semoga dengan adanya makalah ini bisa menjadi bahan pembelajaran kita semua baik di kampus maupun diluar kampus.



DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin, 2008, Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Bumi Aksara.



Umar  Anshori, 1986, Fiqih Wanita. Semarang ; CV. Asy-Syifa’.