Upaya
pemerintah memberantas korupsi menunjukkan keseriusan yang luar biasa. Saking
luar biasanya, hal-hal di luar kebiasaan pun dilakukan. Tiga pelaku pembawa
kabur dana BLBI yang digolongkan sebagai pelaku tindak pidana korupsi,
‘diboyong’ ke istana. Mereka dicitrakan sebagai pelaku kejahatan ekonomi
kooperatif dan dipromosikan secara terarah menjadi figur suri tauladan bagi
para penggelap uang rakyat yang lain. Angin segar bagi para pelaku kejahatan
ekonomi kelas ratusan milyar ke atas pun sengaja dihembuskan Jaksa Agung dengan
iming-iming kemungkinan dikeluarkannya SP3 bagi para koruptor ‘santun’ dan
‘budiman’. Alasan ‘pengampunan’ menurut logika sederhananya karena di tengah
perekonomian bangsa yang minus dana, mereka kembali ke pangkuan Ibu pertiwi dengan
membawa uang yang cukup lumayan jumlahnya. Bahwasanya uang tersebut hasil kerja
membobol kas negara delapan tahun yang lalu, sepertinya menjadi urusan
sekunder. Jadi sekarang yang penting mereka mau kembali, koperatif dan
nyetor.
Ketika
peristiwa terjadi, malam itu kebetulan saya tengah berada di dalam taksi
mengikuti peristiwa sensasional ini lewat pemberitahuan radio. Belum lagi
seluruh pemberitaan selesai, Pak Supir yang berdarah tapanuli langsung
bereaksi, “Enak kali mereka. Tahu begitu aku pilih jadi penjahat kelas berat
dari pada jadi supir taksi, biar bisa bertandang ke istana. Bah, makin pening
aku dibuatnya...! “secara refleks saya berusaha meredam kegusarannya, “jangan
berprasangka buruk dulu, Pak. Kita hargai saja niat baik pemerintah memberantas
korupsi. Soal cara kan masih bisa dikoreksi. “ Reaksi Pak Supir sangat tak
terduga. Suaranya malah semakin tinggi. “Macam mana bos ini? Aku saja yang
berpendidikan pas-pasan cukup tahu bahwa Istana itu simbol lembaga negara tertinggi
di negeri ini. Apa pantas orang-orang seperti itu diundang ke istana? Aku
tersinggung, Bos...!
Mendengar
ucapan supir taksi yang begitu menyentuh, saya jadi terdiam. Luar biasa, supir
taksi saja tahu bahwa istana adalah simbol kehormatan dan kewibawaan negara
yang citra dan marwahnya perlu dijaga. Apakah para petinggi negeri yang malam
itu mengusung tiga pelaku tindak pidana korupsi ke istana, tidak tahu hal ini?
Tidakkah harga yang harus dibayar oleh bangsa ini menjadi lebih mahal ketika
yang dipertaruhkan adalh bangunan tata nilai yang selama ini kita junjung
tinggi dan sangat tinggi pula nilainya?!
Dipandang
dari sisi niat baik pemerintah melalui kaca mata politik, langkah memboyong
para koruptor (Fugutive) bertandang ke istana, bisa dimengerti walau
masih sulit untuk dipahami. Dalam kaitan pragmatisme politik bagi para pembobol
dana BLBI yang masih berada di persembunyian, langkah ini bisa saja merupakan
tawaran yang sexy dan memukau. Dengan demikian mereka merasa nyaman dan
terjamin hingga mempunyai keberanian pulang dan mengembalikan uang hasil
‘curian’. Tentunya dengan harapan dapat kembali menghirup hawa bebas di negeri
ini sebagai warga negara yang lumayan terpandang.
Dalam
kaitan tat laksana penegakan hukum secara kelembagaan, peristiwa ini merupakan
preseden yang cukup memuaskan. Akan lebih pas bila para koruptor diboyong ke
kantor Kejaksaan Agung RI, karena di lembaga inilah kewenangan menghentikan
atau melanjutkan proses pidana bagi para pelanggar hukun ditentukan. Bukan di
Istana tempat dimana Yang Mulia Presiden Republik Indonesia tinggal dan berada.
Menyangkut
kebesaran hati para petinggi negeri yang menghembuskan angin surga akan
mengeluarkan SP3 bagi koruptor BLBI bila bersikap kooperatif dan berkenan
mengembalikan uang korupsinya, saya jadi teringat pada mereka yang terpidana
dalam kasusu Akbar Tandjung sehubungan skandal proyek fiktif belum lama ini.
Bila ketiga pembawa kabar uang negara kelak dibebaskan, tidakkah mereka juga
layak dibebaskan toh uang yang dicuri juga dikembalikan? Bila kebijakan
pemutihan dosa lewat pengembalian uang haram ini dilembagakan, selain sulit
mencari payung hukum yang mendasarinya, satu hal yang menarik adalah pesan yang
ditinggalkan oleh peristiwa ini kepada lembaga KPK dan TIPIKOR. Pesannya
kira-kira begini; Kalian tidak perlu susah payah berpanjang-panjang memriksa
para koruptor, cukup lontrakan pertanyaan, “Mau kembalikan atau tidak ?” Bila
mereka mau dan kooperatif, bebaskan. Bila tidak, cepat kirim ke penjara. Lewat
peristiwa luar biasa ini, benar juga keluhan pak supir taksi: pening aku
dibuatnya! Lebih pening lagi ketika mempertanyakan, kalau istana sudah
direndahkan martabatnya sejauh itu, lalu kemana lagi rakyat harus mencari
istananya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar