Aku kehilangan seluruh kekuatanku…
Aku kehilangan semua mimpiku…
Mimpi untuk sekali saja membahagiakanmu
Kesempatan untuk sekali saja
mengatakan aku mencintaimu…
Oleh bilur-bilur keindahan puisi
Aku mengerti, tak ada lagi yang bisa kulakukan…
Hanya dengan memujamu lewat kata demi kata…memandangimu dengan air mata dan seluruh doa untuk kebahagianmu….
Aku menyerah bukan karena lelah
Aku menyerah kepada kebahagianmu
Dengar…
Seperti inilah sayang, puisi yang kau simpan disebahagian tulang rusuk yang kau tanam dalam tubuhku. Puisi yang katamu adalah cinta.
Aku percaya inilah takdir yang sesungguhnya, bahwa Tuhan menghendaki aku kembali menjadi debu, menjadi bagian kau yang terabaikan. Benar kau abaikan– Adam.
Apa kau tak rasakan pedih seperti rasa pedih yang aku rasakan? Kehilangan separuh kekuatanku? Kehilangan seluruh pelukanmu kedalam pelukannya?
Betapa rapuhnya kehilangan senyummu.
Kehilangan waktu untuk sekadar menatap cahaya yang menghidupkan duniaku dalam matamu.
Aku tak lagi berhak tak punya hak
Bahkan ketika aku tahu separuh rusukmu hilang dari tubuhku….
Betapa hina aku –Adam. Betapa najis aku pernah berpikir hendak menjadi duri dalam kebahagianmu, ketika kusadari kenanganmulah yang pelan menusuk aku sendiri….menusuk seperti duri di kepala Tuhanmu.
Namun inilah keajaiban tiada berkesudahan, ketika aku membuka mata dan mendapati kau memeluk buah cintamu. Buah yang tak lagi ranum kau petik dari tubuhku…namun jatuh menetes dari darah dagingmu.
Aku menangis– Adam. Menangis pilu dalam puisi ini. Menyadari janggalnya kehadiranku dalam hidupmu. Memikirkan rusukku yang mulai lapuk.
Yang sedikit demi sedikit menyentuh tanah.
…..
[ Seperti kutipan puisi sahabatku (Akbar)]
…..
“Sebelum esok benar-benar menggenapkanku sepenuh kesadaran, ke tempat hari di mana aku akan tinggal bernama kehilangan. Rumah paling tenang untuk aku berpulang”
Maukah sekali saja, kau bisikkan padaku
dimana kenangan tentang hari-hari yang mengingatkanmu bahwa kau pernah begitu mencintaiku– Adam?
Sebelum hari baru membawaku menjauh
bahkan hilang dan mati dari ingatanmu?
Maukah kau mencintaiku di kehidupan lain? Di kehidupan kita pernah tak saling mengenal dosa?
Terimakasih mau mendengar salinan puisimu dari mulutku dan maaf untuk setiap kata yang tak diucapkan dengan sempurna pahamilah raga ini masih tersesat di tubuh— Hawa.
Aku kehilangan semua mimpiku…
Mimpi untuk sekali saja membahagiakanmu
Kesempatan untuk sekali saja
mengatakan aku mencintaimu…
Oleh bilur-bilur keindahan puisi
Aku mengerti, tak ada lagi yang bisa kulakukan…
Hanya dengan memujamu lewat kata demi kata…memandangimu dengan air mata dan seluruh doa untuk kebahagianmu….
Aku menyerah bukan karena lelah
Aku menyerah kepada kebahagianmu
Dengar…
Seperti inilah sayang, puisi yang kau simpan disebahagian tulang rusuk yang kau tanam dalam tubuhku. Puisi yang katamu adalah cinta.
Aku percaya inilah takdir yang sesungguhnya, bahwa Tuhan menghendaki aku kembali menjadi debu, menjadi bagian kau yang terabaikan. Benar kau abaikan– Adam.
Apa kau tak rasakan pedih seperti rasa pedih yang aku rasakan? Kehilangan separuh kekuatanku? Kehilangan seluruh pelukanmu kedalam pelukannya?
Betapa rapuhnya kehilangan senyummu.
Kehilangan waktu untuk sekadar menatap cahaya yang menghidupkan duniaku dalam matamu.
Aku tak lagi berhak tak punya hak
Bahkan ketika aku tahu separuh rusukmu hilang dari tubuhku….
Betapa hina aku –Adam. Betapa najis aku pernah berpikir hendak menjadi duri dalam kebahagianmu, ketika kusadari kenanganmulah yang pelan menusuk aku sendiri….menusuk seperti duri di kepala Tuhanmu.
Namun inilah keajaiban tiada berkesudahan, ketika aku membuka mata dan mendapati kau memeluk buah cintamu. Buah yang tak lagi ranum kau petik dari tubuhku…namun jatuh menetes dari darah dagingmu.
Aku menangis– Adam. Menangis pilu dalam puisi ini. Menyadari janggalnya kehadiranku dalam hidupmu. Memikirkan rusukku yang mulai lapuk.
Yang sedikit demi sedikit menyentuh tanah.
…..
[ Seperti kutipan puisi sahabatku (Akbar)]
…..
“Sebelum esok benar-benar menggenapkanku sepenuh kesadaran, ke tempat hari di mana aku akan tinggal bernama kehilangan. Rumah paling tenang untuk aku berpulang”
Maukah sekali saja, kau bisikkan padaku
dimana kenangan tentang hari-hari yang mengingatkanmu bahwa kau pernah begitu mencintaiku– Adam?
Sebelum hari baru membawaku menjauh
bahkan hilang dan mati dari ingatanmu?
Maukah kau mencintaiku di kehidupan lain? Di kehidupan kita pernah tak saling mengenal dosa?
Terimakasih mau mendengar salinan puisimu dari mulutku dan maaf untuk setiap kata yang tak diucapkan dengan sempurna pahamilah raga ini masih tersesat di tubuh— Hawa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar